Minggu, 03 November 2019

100.000m/380menit

Diposting oleh Akhelouise di 06.27
—3 November



sesiang ini, aku memutuskan untuk menaiki kereta api dan menuju bogor; kebun raya bogor, lebih tepatnya. setelah tidur-tiduran lebih dari 3 jam, aku akhirnya bangkit dan menuju kamar mandi, membersihkan diri lalu berpakaian. sebelum berkemas, aku menuju ruang makan dan menghabiskan tempe yang sudah tetaku goreng tadi pagi ketika aku masih pura-pura tidur. aku terlalu malas untuk berbicara karena otot lengan dan bahu kananku terasa sakit setelah membawa koper dan tas sandang besar dari serpong menuju bekasi—setelah aku cek jaraknya mencapai 49 km. memang, antara berbicara dengan sakitnya otot lengan tidak ada hubungannya. aku tahu itu.
maka, sekarang, aku mengetik cerita ini untuk mengisi waktu luang yang diberi Tuhan dalam perjalananku menuju bogor. aku mendapatkan tempat duduk, syukurnya. jadi aku bebas untuk menulis dan mencurahkan apa yang kurasa.
sebenarnya, perjalanan menuju kebun raya ini akan menjadi sedikit melankonlis, kurasa. apalagi jika sudah mencapai stasiun citayam; aku akan teringat bagaimana aku mempertahankan badan dan tanganku untuk tidak ikutan bergoyang-goyang seirama gerakan kereta demi menulis sepucuk surat pendek untuk seseorang yang akan aku temui di kebun raya.
sebulan yang lalu, kira-kira, dia mengirimkan foto surat yang kutulis di citayam itu. oh iya, surat itu kuberikan kepadanya setelah kita bertemu. ternyata dia menyimpannya, setelah satu setengah tahun terlewat. aku menangis membacanya. ternyata, aku pernah sesedih itu dalam menulis surat untuk seseorang; bahkan saat aku membacanya kembali aku dapat merasakan betapa sedihnya aku waktu itu. maka, pantaslah jika kubilang dia adalah patah hati pertama yang kurasa.

aku berhenti menulis ketika ibu ibu di sebelahku mulai batuk-batuk. kurasa, jika aku tetap menulis di note ponsel dan mengabaikan ibu tersebut, aku jahat. maka aku berhenti menulis dan mulai memperhatikan ibu tersebut.
sekarang kereta dalam perjalanan menuju pemberhentian selanjutnya; stasiun cilebut. sepanjang manggarai-cilebut, aku berdiri di dekat pintu, sehingga aku bisa memperhatikan keadaan di luar dan bagaimana langit bersinar dengan cerahnya.
setibanya di stasiun citayam—tempat dimana aku mulai menulis surat untuknya—kuperhatikan langit sudah mulai mendung. beberapa menit setelahnya, hujan mulai mengetuk-ngetuk jendela pintu. air-air hujan mulai merangsek di jendela dan mengalir dengan cepat; seperti kereta ini berjalan.
sudah kupikirkan, sesampainya di stasiun bogor, aku akan menuju musalla, salat ashar, lalu kembali ke bekasi; takut hujan mengguyur kota bogor dan membuatku basah kuyup sesampainya di rumah. aku tidak mau. nanti teta repot.
namun, sesampainya di cilebut, hujan berhenti. sekarang aku bingung, apakah akan melanjutkan rencana ke kebun raya atau tetap pada rencana dadakan yang muncul beberapa belas menit lalu; hanya menuju musalla lalu kembali ke bekasi.
sejauh ini, dalam perjalanan menuju stasiun bogor, langit tampak cerah. aku juga ingin makan rujak khas bogor yang katanya enak itu.

aku memutuskan untuk kembali. setibanya di stasiun, aku menuju musalla, melaksanakan salat asar, lalu kembali menaiki kereta menuju manggarai yang kebetulan sedang menunggu penumpang penuh. sekarang aku duduk di sela sela ibu-ibu yang sedang mengobrol tentang perbedaan cuaca di jakarta dan bogor.
beberapa menit setelah mendapatkan tempat duduk, tanpa alasan apa-apa, aku merasa sedih; kemudian air mata ini mengalir. bukan, ini tentu saja bukan tentang patah hati pertama yang kubilang tadi. tapi mungkin karena bogor memang juara dalam me-melankolis-kan diri ini. aku merasa, perlahan-lahan aku mematahkan hati sendiri. sepertinya aku harus banyak mengoreksi diri agar setidaknya aku bisa berhenti untuk bersedih-sedih seperti ini.

barusan, aku mengobrol dengan anak kecil yang duduk di sebelahku. dia menghadap jendela, memperhatikan hujan yang turun, menunjuk-nunjuknya, kemudian men-dadah-kan kereta yang lewat menyelisihi kita. saat mengobrol, aku yang memakai masker membuat dia tidak terlalu menangkap apa yang aku katakan. maka, tadi, masker hitamku ditarik ke bawah sampai memperlihatkan mulut. sepertinya dia juga membaca gerakan bibir untuk dapat mengerti apa yang orang lain katakan. lalu, kami mengobrol sebentar mengenai kacamata, hujan, dan kereta.

aku mengantuk, namun, posisi ini kurang mengenakkan untuk tidur. padahal, musik yang diputar di kereta terlalu menyenyakkan. barusan, untuk yang kedua kalinya, adik kecil itu membuka kembali maskerku—padahal aku tidak mengajaknya mengobrol. hal itu menyebabkan aku yang harus melanjutkan percakapan dengannya agar pembukaan masker ini tidak sia-sia.

adik kecil itu bernama akbar. dia turun di stasiun depok—kata mamanya itu lebih dekat ke rumah mereka. setelah akbar dan mamanya turun, aku memutuskan untuk bersandar dan memasukkan ponsel ke dalam tas. kupeluk tas hijau yang menjadi dambaanku sebelum kubeli; kemudian kututup mata. mencoba membuat diri ini terlelap dengan semua overthinking yang muncul selama perjalanan tadi. namun, belum juga terlelap, ketika kereta mau bergerak kembali dari stasiun universitas indonesia, keretanya mogok. semua orang disuruh turun dan menunggu kereta selanjutnya. semua orang menurut.
sepanjang menunggu kereta, aku bersenandung lagu Bread yang kutahu dari playlist mobil kak lisa. judulnya if. aku sampai mencari liriknya di internet kemudian menyanyikannya berulang-ulang di balik masker hitamku. bahkan sampai kereta selanjutnya datang, saat aku berdiri menghadap jendela, aku tetap bersenandung; meskipun tidak hapal lirik dan tidak bisa melihat liriknya di internet. dan ternyata, aku yang pendek ini bisa menggapai pegangan tangan di atas sana; meskipun agak sulit.
sepanjang perjalanan dari stasiun universitas indonesia sampai manggarai, aku berdiri menghadap jendela. untungnya, ada adik kecil yang lain yang duduk di hadapanku sehingga diri ini tidak terlalu bosan karenanya. selain menatap adik kecil itu, aku memperhatikan jalan, pohon, lampu yang terlewatkan oleh kereta. sepanjang perjalanan begitu banyak hal yang kupikirkan; sampai beberapa kali aku merasa mataku berkaca-kaca. beruntung, aku memakai masker dan kacamata yang benar-benar menyelamatkanku dari wajah sedih yang mulai tidak bisa kubendung.

maghrib sudah berjalan 24 menit saat kakiku menginjak stasiun manggarai. kuputuskan untuk mampir ke musalla sebelum menempuh perjalanan selanjutnya ke bekasi.
hujan mulai turun, dan aku memperlambat langkah dan menikmati air yang mulai menyentuh telapak tangan ini. ketika menarik napas, aku merasakan kelegaan. sudah berapa lama aku tidak selega ini dalam menarik napas?

meskipun wacana ke kebun raya bogor tidak terjadi sore ini, aku merasa senang karena aku kembali menikmati perjalanan kereta seperti dahulu. aku tidak mengerti kenapa menaiki kendaraan umum seperti kereta dapat menenangkan hati ini. setelah sekian lama, aku tidak merasa sendiri di tengah keramaian yang tidak kukenal.

aku sudah sampai di rumah kembali. 6 jam 20 menit kuhabiskan untuk menuju bogor, dan kembali ke rumah. sepanjang perjalanan, banyak sekali pemikiran-pemikiran yang tercetus. aku mulai berpikir bahwa yang membuatku sedih adalah diriku sendiri; karena terlalu banyak berharap pada orang lain. kekecewaan akan harapan yang tidak terwujud membuatku sedih berkepanjangan hingga lupa bahwa aku juga berhak bahagia. aku tidak sadar bahwa yang bertanggungbjawab atas kebahagiaanku adalah diriku sendiri. dan setiap orang di sekelilingku tidak punya kewajiban untuk membuatku bahagia ataupun membuat hariku baik-baik saja. untuk ke depannya, aku akan mencoba untuk berjuang menghadapi dunia ini sendiri; namun tentu saja tidak luput dari bantuan orang lain di sekelilingku. menjadi pribadi yang positif akan memunculkan aura yang juga positif. sebagaimana tawa yang menular, energi positif juga bisa menular dengan sendirinya. maka, hal yang sebaiknya sudah kulakukan sejak dulu akan kumulai dari hari ini.
bismillaah:)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Akhelouise Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review