Selasa, 13 Januari 2015

Tangis di Ujung Senja

Diposting oleh Akhelouise di 00.21
hei hei hei! setelah hampir dua tahun vacuum dari blog ini, saya kembali lagi sambil membawa sebuah cerpen terbaru saya yang berjudul. . . . . . Tangis Di Ujung Senja!!!
Enjoy it, guys~






Tangis Di Ujung Senja

Aku menatap nanar laptop yang terbuka dihadapanku. Video yang diberikan oleh temanmu tadi—Alfi—sudah kuputar berkali-kali. Alunan musik biola mengalun lembut. Seiring dengan gejolak rasa yang menggelora di dada ini dan berjatuhannya bulir-bulir bening di pipiku.
Kau—seorang violist—yang selalu membuatku terpukau akan permainanmu.  Memakai topi—yang seringkali menutupi mata—adalah hobimu. Menggesek biola itu dengan lembut, dan secercah senyuman merekah dibibirmu. Kau menikmatinya, Iam. Dan aku juga.
Kuangkat cangkir berisikan teh yang sudah dingin. Kuseruput sedikit dan kuletakkan lagi. Kuhela nafas panjang dan mengalihkan perhatianku keluar jendela. Langit sudah berubah menjadi jingga. Mungkin mataku sudah sewarna dengan langit itu.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu kau membawaku ke saung di sebuah sawah. Menatap indahnya langit jingga di penghujung senja. Menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan anak-anak rambutku. Kau membentangkan tangan dan menutup matamu. Kau nikmati aliran angin yang menghanyutkan dirimu. Kau tersenyum kecil sehingga nampaklah dua lubang kecil di pipimu.
Berselang lima menit setelah itu, kau buka mata dan melangkah ke saung untuk mengambil biola dan penggeseknya.  Kau kebawahkan topimu, menutup matamu dan bersiap-siap untuk menggesek biolamu.
Kau mulai menggesek biola itu. Peri cintaku mengalun lembut dari hasil gesekanmu. Aku tenggelam didalamnya. Sehingga, tanpa kusadari aku bersenandung kecil mengikuti alunan musikmu yang seiring dengan gemerisik padi-padi yang mulai menguning.
Disaat asyik-asyik nya bernyanyi sambil mengiringimu bermain biola, musiknya berhenti. Kualihkan pandanganku padamu. Ternyata, kau juga sedang menatapku. Tak berselang 21 detik, kau berkata, “kau menghancurkan permainanku, Layla.”
Aku terdiam dan menatap sinis padamu.  Kusilangkan tanganku di depan dada lalu mulutku berucap, “baiklah baiklah. Aku akan menghentikannya.” Sambil memanyunkan bibirku.
Kau tertawa. Dan tawamu menular padaku. Itu menyebabkan senja di saung sawah tersebut berderai tawa.

Bulir bening itu jatuh lagi. Maafkan aku, Iam. Aku tau kau tak suka—bahkan benci—melihatku menangis. Kau akan menceramahiku dan berusaha membuatku lebih kuat dan tegar. Tapi, kali ini—untuk kali ini saja, Iam—izinkan aku untuk menangisimu.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu aku mengikuti sebuah kompetisi menulis cerpen dan tidak lulus. Aku mengadu padamu sambil menangis tersedu-sedu. Kau rangkul bahuku—berusaha menenangkanku—lalu memberikan sehelai saputangan. Kau tersenyum kecil dan mulai berceramah, “Layla, kau harus tau bahwa harapan jarang sekali sejalan dengan kenyataan. Kecuali kau memang berusaha keras untuk membuatnya berjalan beriringan.” Kau berhenti sejenak untuk mengambil nafas. “Takdir tak selalu memanjakanmu, Lay.  Ia tak mau kau menjadi orang yang lemah dan cengeng.  Jadi, kalau kau ingin mewujudkan harapanmu, jadilah orang yang kuat dan tegar. Mengerti?” kau menjitak kepalaku sambil tertawa. Aku meringis karena merasa sedikit sakit. Kupegang kepalaku dan menatap sinis padamu. Melihat kau tertawa, aku juga ikut tertawa. Dan kita berderai tawa.

Helaian demi helaian itu kubuka satu persatu. Hanya satu alasannya, Iam. Untuk mengenangmu. Mengenang masa-masa bahagia waktu kau masih di sini. Di sisiku. Masa-masa dimana kita berderai tawa.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu aku iseng menggesek-gesek biolamu. Berharap bisa jadi pemain biola yang hebat layaknya dirimu.
Kugesek dan kugesek biola tersebut walaupun bunyinya fals minta ampun. Aku terus berpikir, kenapa gesekan yang aku lakukan tak menghasilkan alunan yang lembut seperti yang kau hasilkan?
Tiba-tiba seseorang merebut—secara paksa—penggesek biola yang sedang kugenggam. Kupandangi orang yang membuatku kesal itu. Ternyata itu kau, Iam. Wajahmu memerah. “Layla! Kalau kau tak bisa memainkannya, jangan pernah coba-coba untuk memainkannya! Kau menyakiti biola ini! Jika kau bermain tidak sebagaimana mestinya, tidak hanya biola ini yang tersiksa! Tapi juga aku! Dan semua orang yang mendengarnya! Camkan itu!” Kau berteriak-teriak di depanku. Nafasmu menderu-deru.
Aku tercengang. Menatapmu seperti itu merupakan pengalaman pertama untukku. Aku hanya diam dan terpaku menatapmu. Mataku berkaca-kaca.
Hening menyelimuti kita. Wajahmu yang memerah tadi perlahan-lahan berubah menjadi normal kembali. Nafasmu yang memburu lamat-lamat menjadi teratur. Kau hela nafas panjang dan berkata, “Maafkan aku, Layla.  Aku hanya.  .  . ” Kau berhenti sejenak lalu mengusap kepalamu yang ditumbuhi rambut bergaya cepak. Kau hela nafas panjang—lagi—dan berujar lirih, “Maafkan aku, Lay.”
Aku masih menatapmu. Kemudian kudengar suaramu menggema ditelingaku, “Mau kubelikan ice cream?”
Ice cream. Yeah, salah satu alat yang bisa membuat suasana menjadi cair seperti air. Membuat emosi kita reda karena kesejukannya. Aku menyukai ice cream. Dan kau tau itu.
“Mau tidak?  Ice cream walls selection lohh.  Yang ada oreonyaaa” kau berkata sambil menaik-naikkan alismu seraya menggodaku.
Aku tersenyum kecil dan kuusap mataku yang sedikit berair. Kukepalkan tanganku, lalu, kupukulkan kepalan itu ke lenganmu. Aku tertawa kecil dan berkata, “ayo, jadikan beli ice cream? ”
Kau tertawa. Aku pun tertawa. Dan tawa kita pun menggema.

Semuanya sudah tertanam di hati ini, Iam. Caramu tertawa, tersenyum, menggodaku, caramu marah, caramu memainkan musik, dan caramu mengungkapkan perasaanmu.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu, kau memainkan lagu “Marcell, Peri cintaku” lagi dengan biolamu. Aku menikmati alunannya.
Setelah kau selesai, aku bertepuk tangan. Dan kau tertawa. Alunan musik itu sudah sering kali kau mainkan dan kudengar. Lalu muncullah sebuah pertanyaan yang terbersit di benakku.  “kenapa kau sering sekali memainkan lagu itu, Iam? ” kuwujudkan pertanyaan itu dengan lisanku.
Kau menatap matahari di ujung senja. Aku duduk di saung. Otomatis, kau membelakangiku saat itu. Kau letakkan peralatan biolamu kembali ke saung. Kembali menghadap matahari senja yang diselimuti langit berwarna jingga. Kau masukkan tangan ke dalam saku dan tersenyum kecil, “karena aku menyukai seseorang, Lay.” Kau menunduk sebentar dan mengembalikan pandanganmu lagi seperti tadi. “Sayangnya, imannya berbeda denganku.” Katanya pelan.
Gleg! Aku membeku di tempat. Kulihat wajahnya berpaling ke arahku.  Kau mencintai orang lain, Iam. Aku selalu mengira bahwa kau membalas perasaanku. Tapi ternyata aku salah. Kau mencintai orang lain, yang berbeda imannya denganmu. Dan tentu saja, Iam. Orang itu bukan aku. Karena, kau islam. Dan aku juga.
Kulihat senyummu menuju ke arahku. Aku—berusaha—membalas senyumanmu.

Mulai saat itu, aku menjauhimu, Iam. Kita tak lagi berdampingan seperti dulu. Karena aku. . . aku merasa terlalu rapuh untuk berada di dekatmu semenjak kejadian itu.
Aku ingat ketika memutar video itu pertama kali.
Di video itu, kau mengenakan baju hitam dengan lengan panjang—baju kesukaanmu, celana hitam panjang, topi bertuliskan “monster galaxy” dan sepatu hitam kesukaanmu.
Sepuluh detik pertama, video itu menampilkan sebuah kamar kosong. Ada sebuah kursi di tengahnya. Dan seperangkat peralatan biola berdiri anggun di sampingnya. Kau muncul setelahnya. Sepertinya, kau baru selesai menyetel kamera di atas tripod.
Kau duduk di kursi tengah dengan gayamu yang khas—kaki berlipat dan  kau tersenyum.
“Layla. . . ” katamu.  Kau keataskan topimu sehingga aku bisa menatap mata coklatmu.
“Aku terkejut ketika kau mulai menjaga jarak denganku. Aku merasa kau berubah, Lay.  Kau bukan lagi Layla kecil-ku yang dulu. Kau tak mau lagi bermain ke saung bersamaku. Kau tak lagi mau melihat matahari di ujung senja. Kau berbeda, Lay. Kau berbeda.” Kau berkata di video itu. “Suaramu, yang biasanya selalu bersenandung mengiringi permainanku tak kudengar lagi. Jujur saja, aku merindukan suara jelekmu itu. ”
Tik! Sebuah bulir bening jatuh.
“Ingatkah kau, Lay? Waktu kita menantang langit jingga, aku memainkan lagu ‘Peri Cintaku’ di hadapanmu. Dan kau tanya alasanku. Tahukah kau, Lay? Aku agak ragu menjawab pertanyaanmu kala itu. Aku takut kau menjauh.  Aku takut kau akan pergi.  Aku takut kau takkan ada lagi untukku, Lay. Aku takut kau tak akan mau lagi berada di sisiku.  Begitu banyak yang kutakutkan.
“tapi, sudah terlalu lama aku memendamnya. Kau tau, kan? Memendam perasaan itu tak menyenangkan, Lay.  Jadi, kuputuskan untuk berhenti menyembunyikan kenyataan ini.
“ternyata dugaanku benar.  Kau menjauh dariku. Selama ini kupikir kau membalas perasaanku. Tapi sayang seklai. Harapan tak pernah sejalan dengan kenyataan. Dan kau tau itu, kan? ” kau mengubah posisi dudukmu. Kaki tak lagi dilipat.  Tapi kau mencondongkan badanmu di depan dan menjadikan lututmu menjadi tumpuan dari tanganmu.  Ku pause di bagian itu.
Bagian ini kuulang berkali-kali. Untuk meyakinkan diriku bahwa pikiranku selama ini salah. Aku tak percaya, Iam. Rasaku terbalas. Aku menyayangimu, dan kau juga menyayangiku.
Di balik rasa senang yang kurasakan, sebuah pertanyaan berputar-putar di kepalaku. Kalau lagu ‘peri cintaku’ itu dinyanyikan untukku, berarti kita berbeda keyakinan?
Pertanyaan itu terjawab ketika aku menekan tombol play. Kau merogoh sakumu. Lalu mengeluarkan sebuah benda panjang berwarna silver. Ternyata itu sebuah kalung. Kau angkat kalung itu, dan nampaklah benda yang tergantung di tengahnya. Sebuah salib.
Kau tersenyum kecil dan terlihatlah lubang kecil di pipimu.  Oh, betapa aku merindukan senyummmu, Iam.
Kau tunjukkan benda itu ke depan kamera.  “Aku seorang Christiani, Lay. Dan kau seorang Muslim. Itu berarti. . . ” kau menggigit bibir bawahmu. “Kita takkan pernah bersatu.”
Aku tercengang. Marah. Sedih. Bercampur jadi satu. Marah pada diriku sendiri. Kenapa aku baru tau? Selama ini aku mengenalmu, aku selalu berpikir kau juga seorang muslim, Iam.
“Mungkin kau hanya tau namaku Ilham. Dengan panggilan Iam Memang, nama itu terdengar seperti nama seorang muslim. Tapi ketahuilah, Layla. Nama lengkapku, Ilham Gabriel Christ Marcello.”
Aku kembali tercekat. Aku mencintai orang yang berbeda iman.
“Maafkan aku baru memberitahumu sekarang. Itu karena. . . ” kau berhenti sejenak, “Aku takut kau pergi.  Maafkan aku, Lay.  Aku memang egois.” Lalu menunduk.
Bulir bening kembali jatuh. Kuseka dengan saputangan yang dulu pernah kau berikan padaku. Kutatap lagi gambarmu yang bergerak di hadapanku.
Kulihat kau berdiri dan mengambil biolamu, “Persembahan terakhir dariku, Lay.  Untukmu, Peri Cintaku.” Kau tersenyum.“ Kali ini kau boleh mengiringiku bernyanyi.” Kau tertawa kecil. Dan seperti biasa, tawamu menular padaku.
Kututp mataku, dan kubiarkan diriku terhanyut dalam aliran waktu. Kembali ke masa dulu. Saat aku dan kau masih duduk berdampingan, berdiri bersisian dan bernyanyi beriringan.
Kubiarkan bulir ini jatuh sebagai bentuk ketidakrelaanku untuk melepasmu pergi. Jangan marah, Iam. Untuk kali ini saja, bolehkan aku menangis.
Seiring dengan mengalirnya bulir-bulir itu, aku bersenandung pelan.
Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta tak kan bisa pergi
“Jangan nangis, Lay. Ingat! Kau harus kuat dan tegar!” katamu setelah meletakkan biola lalu duduk di kursi tadi—lagi. Bagaimana aku bisa kuat kalau kau tak di sini, Iam? “Sayang sekali ya, aku tak bisa lagi menjitak kepalamu seperti dulu. ”Kau sedikit tertawa. Tawa yang sangat dipaksakan.
“Aku akan merindukanmu.” Kau tersenyum sambil menarik-narik jari tanganmu sampai berbunyi ’tuk’.  “Aku menyayangimu, Lay.” Kau tersenyum lagi. “Nanti malam, aku akan berangkat ke Irlandia untuk melanjutkan kuliah dan karirku di sana. Doa kan aku ya, Lay.” Katamu.
Lalu, kau perlihatkan tiket pesawatmu dan berkata, “Aku akan berangkat dengan pesawat flying air. Dengan nomor keberangkatannya L743 jam 20.30 wib. Aku menunjukkan ini supaya kau percaya bahwa ini nyata.” Katamu. “Aku takkan melakukan gertak sambal padamu, cuman karena kau menjauhiku.” Katamu lagi.  “Ketahuilah, Lay.  Ada atau tidaknya kau di sampingku, kau akan tetap ada di sini.” Kau menunjuk dadamu. “Di hatiku.”
Tik! Bulir pun jatuh lagi.
“Dah, Lay. Aku . . .” Kau menoleh ke samping sambil menggigit bibir bawahmu.  “Aku. . .” kau alihkan pandanganmu ke lantai sambil menunduk. “Maafkan aku, Lay. Aku menyayangimu. Aku pergi. Dah.” Ucapmu. Kau bangkit lalu melangkah menuju kamera. Sebelum videonya berakhir, kau mengucapkan satu kata yang terus menggema sampai saat ini, “Assalamualaikum, Lay” di satu detik terakhir. Lalu, layar laptopku hitam pertanda video berakhir. Di dalam hati aku menjawab, Waalaikumsalam, Iam.

Setelah menonton video itu, kuseka bulir bening yang mengalir dan kulangkahkan kakiku ke ruang tamu untuk mengambil koran.  Mengikuti instruksi dari Alfi tadi.
Dari ruang tamu, aku kembali ke kamar. Tepat di samping jendela menghadap ke barat. Sehingga aku dapat menatap rintik hujan yang jatuh dari langit dan juga bisa melihat langit yang menjingga di penghujung senja. Warna langit yang sangat kita sukai, Iam.
Aku bingung. Apa maksud Alfi menyuruhku membaca koran ini? Apakah dia tidak tau kalau aku tidak suka koran? Oh iya, aku baru ingat. Dia bukanlah Iam yang tau semua tentang diriku. Dan pada akhirnya, aku akan tetap membaca koran. Karena, koran ini bersangkutan denganmu.
Kubuka lipatan koran itu. Sebuah tulisan terpampang sebagai headline dari koran tersebut.

“Roda Macet Nyawa Melayang”
Craig Johnson, Irlandia
Irlandia—sebuah pesawat dari Jakarta, bertujuan ke Irlandia gagal mendarat dikarenakan kemacetan roda pesawat. Telah dipastikan bahwa semua penumpang tewas karena badan pesawat menghantam salah satu pagar landasan. Pesawat dengan nomor penerbangan L743 ini berangkat dari Jakarta pada pukul 20.30 wib. Saat ini, Pihak flying air masih belum bisa memberi kejelasan tentang kecelakan yang terjadi pada tanggal 7 Juni ini.

Tik! Bulir bening pun jatuh lagi. Flying air? L743? 20.30? 7 Juni? Aku merasakan selintas de javu. Pesawat itu. Nomor penerbangan itu. Jam nya. Tanggalnya. Ini bukan de javu. Ini nyata. Itu pesawatmu, Iam. Pesawat yang akan menghantarkanmu ke masa depan yang cerah.  Menjadi seorang Maestro violist dan membuatku bangga. Jatuh. Dan hancur.
Aku menggelang tak percaya. Kubekap mulut yang sudah mulai mengeluarkan suara tersedu-sedu. Apakah kau benar-benar telah pergi, Iam? Meninggalkanku? Selamanya?
Segenap hatiku luluh lantah. Kau boleh ke Irlandia, Iam. Kau boleh ke Madagaskar. Kau boleh ke Afrika, Amazon, Kanada, Arab dan tempat-tempat yang lainnya. Silakan. Tapi jangan. Kumohon jangan pergi terlalu jauh, Iam. Jangan pergi ke tempat yang tak memungkinkanmu untuk kembali.
Di ujung senja, langit jingga yang dulu kita tantang bersama melihat diriku luluh, Iam. Ia akan tertawa. Melihat diriku kini berdiri sendiri. . . dan lemah.
Tangisku ini, kupersembahkan untukmu, Iam. Tangis di ujung senja. Isakannya bercerita tentang seseorang yang dipermainkan takdir.  Sedu sedannya membuat orang-orang mengerti, bahwa cinta, tak harus memiliki~

0 komentar:

Posting Komentar

 

Akhelouise Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review