Enjoy it, guys~
Tangis Di
Ujung Senja
Aku menatap nanar laptop yang terbuka
dihadapanku. Video yang diberikan oleh temanmu tadi—Alfi—sudah kuputar
berkali-kali. Alunan musik biola mengalun lembut. Seiring dengan gejolak rasa
yang menggelora di dada ini dan berjatuhannya bulir-bulir bening di pipiku.
Kau—seorang violist—yang selalu
membuatku terpukau akan permainanmu. Memakai topi—yang seringkali menutupi
mata—adalah hobimu. Menggesek biola itu dengan lembut, dan secercah senyuman
merekah dibibirmu. Kau menikmatinya, Iam. Dan aku juga.
Kuangkat cangkir berisikan teh yang
sudah dingin. Kuseruput sedikit dan kuletakkan lagi. Kuhela nafas panjang dan
mengalihkan perhatianku keluar jendela. Langit sudah berubah menjadi jingga. Mungkin
mataku sudah sewarna dengan langit itu.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu kau
membawaku ke saung di sebuah sawah. Menatap indahnya langit jingga di
penghujung senja. Menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan
anak-anak rambutku. Kau membentangkan tangan dan menutup matamu. Kau nikmati aliran
angin yang menghanyutkan dirimu. Kau tersenyum kecil sehingga nampaklah dua
lubang kecil di pipimu.
Berselang lima menit setelah itu, kau
buka mata dan melangkah ke saung untuk mengambil biola dan penggeseknya. Kau kebawahkan topimu, menutup matamu dan
bersiap-siap untuk menggesek biolamu.
Kau mulai menggesek biola itu. Peri
cintaku mengalun lembut dari hasil gesekanmu. Aku tenggelam didalamnya. Sehingga,
tanpa kusadari aku bersenandung kecil mengikuti alunan musikmu yang seiring
dengan gemerisik padi-padi yang mulai menguning.
Disaat asyik-asyik nya bernyanyi sambil
mengiringimu bermain biola, musiknya berhenti. Kualihkan pandanganku padamu. Ternyata,
kau juga sedang menatapku. Tak berselang 21 detik, kau berkata, “kau
menghancurkan permainanku, Layla.”
Aku terdiam dan menatap sinis padamu. Kusilangkan tanganku di depan dada lalu
mulutku berucap, “baiklah baiklah. Aku akan menghentikannya.” Sambil
memanyunkan bibirku.
Kau tertawa. Dan tawamu menular padaku. Itu
menyebabkan senja di saung sawah tersebut berderai tawa.
Bulir bening itu jatuh lagi. Maafkan
aku, Iam. Aku tau kau tak suka—bahkan benci—melihatku menangis. Kau akan
menceramahiku dan berusaha membuatku lebih kuat dan tegar. Tapi, kali ini—untuk
kali ini saja, Iam—izinkan aku untuk menangisimu.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu aku
mengikuti sebuah kompetisi menulis cerpen dan tidak lulus. Aku mengadu padamu
sambil menangis tersedu-sedu. Kau rangkul bahuku—berusaha menenangkanku—lalu
memberikan sehelai saputangan. Kau tersenyum kecil dan mulai berceramah,
“Layla, kau harus tau bahwa harapan jarang sekali sejalan dengan kenyataan. Kecuali
kau memang berusaha keras untuk membuatnya berjalan beriringan.” Kau berhenti
sejenak untuk mengambil nafas. “Takdir tak selalu memanjakanmu, Lay. Ia tak mau kau menjadi orang yang lemah dan
cengeng. Jadi, kalau kau ingin
mewujudkan harapanmu, jadilah orang yang kuat dan tegar. Mengerti?” kau
menjitak kepalaku sambil tertawa. Aku meringis karena merasa sedikit sakit. Kupegang
kepalaku dan menatap sinis padamu. Melihat kau tertawa, aku juga ikut tertawa. Dan
kita berderai tawa.
Helaian demi helaian itu kubuka satu
persatu. Hanya satu alasannya, Iam. Untuk
mengenangmu. Mengenang masa-masa bahagia waktu kau masih di sini. Di sisiku.
Masa-masa dimana kita berderai tawa.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu aku iseng
menggesek-gesek biolamu. Berharap bisa jadi pemain biola yang hebat layaknya
dirimu.
Kugesek dan kugesek biola tersebut
walaupun bunyinya fals minta ampun. Aku
terus berpikir, kenapa gesekan yang aku lakukan tak menghasilkan alunan yang
lembut seperti yang kau hasilkan?
Tiba-tiba seseorang merebut—secara
paksa—penggesek biola yang sedang kugenggam. Kupandangi orang yang membuatku
kesal itu. Ternyata itu kau, Iam. Wajahmu memerah. “Layla! Kalau kau tak bisa
memainkannya, jangan pernah coba-coba untuk memainkannya! Kau menyakiti biola
ini! Jika kau bermain tidak sebagaimana mestinya, tidak hanya biola ini yang
tersiksa! Tapi juga aku! Dan semua orang yang mendengarnya! Camkan itu!” Kau
berteriak-teriak di depanku. Nafasmu menderu-deru.
Aku tercengang. Menatapmu seperti itu
merupakan pengalaman pertama untukku. Aku hanya diam dan terpaku menatapmu. Mataku
berkaca-kaca.
Hening menyelimuti kita. Wajahmu yang
memerah tadi perlahan-lahan berubah menjadi normal kembali. Nafasmu yang
memburu lamat-lamat menjadi teratur. Kau hela nafas panjang dan berkata,
“Maafkan aku, Layla. Aku hanya. . . ” Kau
berhenti sejenak lalu mengusap kepalamu yang ditumbuhi rambut bergaya cepak. Kau
hela nafas panjang—lagi—dan berujar lirih, “Maafkan aku, Lay.”
Aku masih menatapmu. Kemudian kudengar
suaramu menggema ditelingaku, “Mau kubelikan ice cream?”
Ice cream. Yeah, salah satu alat yang
bisa membuat suasana menjadi cair seperti air. Membuat emosi kita reda karena
kesejukannya. Aku menyukai ice cream. Dan kau tau itu.
“Mau tidak? Ice cream walls selection lohh. Yang ada oreonyaaa” kau berkata sambil
menaik-naikkan alismu seraya menggodaku.
Aku tersenyum kecil dan kuusap mataku
yang sedikit berair. Kukepalkan tanganku, lalu, kupukulkan kepalan itu ke
lenganmu. Aku tertawa kecil dan berkata, “ayo, jadikan beli ice cream? ”
Kau tertawa. Aku pun tertawa. Dan tawa
kita pun menggema.
Semuanya sudah tertanam di hati ini, Iam.
Caramu tertawa, tersenyum, menggodaku, caramu marah, caramu memainkan musik,
dan caramu mengungkapkan perasaanmu.
Ingatkah kau, Iam? Waktu itu, kau
memainkan lagu “Marcell, Peri cintaku” lagi dengan biolamu. Aku menikmati
alunannya.
Setelah kau selesai, aku bertepuk tangan.
Dan kau tertawa. Alunan musik itu sudah sering kali kau mainkan dan kudengar. Lalu
muncullah sebuah pertanyaan yang terbersit di benakku. “kenapa kau sering sekali memainkan lagu itu,
Iam? ” kuwujudkan pertanyaan itu dengan lisanku.
Kau menatap matahari di ujung senja. Aku
duduk di saung. Otomatis, kau membelakangiku saat itu. Kau letakkan peralatan
biolamu kembali ke saung. Kembali menghadap matahari senja yang diselimuti
langit berwarna jingga. Kau masukkan tangan ke dalam saku dan tersenyum kecil,
“karena aku menyukai seseorang, Lay.” Kau menunduk sebentar dan mengembalikan
pandanganmu lagi seperti tadi. “Sayangnya, imannya berbeda denganku.” Katanya
pelan.
Gleg! Aku membeku di tempat. Kulihat
wajahnya berpaling ke arahku. Kau
mencintai orang lain, Iam. Aku selalu mengira bahwa kau membalas perasaanku. Tapi
ternyata aku salah. Kau mencintai orang lain, yang berbeda imannya denganmu. Dan
tentu saja, Iam. Orang itu bukan aku. Karena, kau islam. Dan aku juga.
Kulihat senyummu menuju ke arahku. Aku—berusaha—membalas
senyumanmu.
Mulai saat itu, aku menjauhimu, Iam. Kita
tak lagi berdampingan seperti dulu. Karena aku. . . aku merasa terlalu rapuh
untuk berada di dekatmu semenjak kejadian itu.
Aku ingat ketika memutar video itu
pertama kali.
Di video itu, kau mengenakan baju hitam
dengan lengan panjang—baju kesukaanmu, celana hitam panjang, topi bertuliskan “monster
galaxy” dan sepatu hitam kesukaanmu.
Sepuluh detik pertama, video itu
menampilkan sebuah kamar kosong. Ada sebuah kursi di tengahnya. Dan seperangkat
peralatan biola berdiri anggun di sampingnya. Kau muncul setelahnya. Sepertinya,
kau baru selesai menyetel kamera di atas tripod.
Kau duduk di kursi tengah dengan gayamu
yang khas—kaki berlipat dan kau
tersenyum.
“Layla. . . ” katamu. Kau keataskan topimu sehingga aku bisa menatap
mata coklatmu.
“Aku terkejut ketika kau mulai menjaga
jarak denganku. Aku merasa kau berubah, Lay. Kau bukan lagi Layla kecil-ku yang dulu. Kau
tak mau lagi bermain ke saung bersamaku. Kau tak lagi mau melihat matahari di
ujung senja. Kau berbeda, Lay. Kau berbeda.” Kau berkata di video itu. “Suaramu,
yang biasanya selalu bersenandung mengiringi permainanku tak kudengar lagi. Jujur
saja, aku merindukan suara jelekmu itu. ”
Tik! Sebuah bulir bening jatuh.
“Ingatkah kau, Lay? Waktu kita menantang
langit jingga, aku memainkan lagu ‘Peri Cintaku’ di hadapanmu. Dan kau tanya
alasanku. Tahukah kau, Lay? Aku agak ragu menjawab pertanyaanmu kala itu. Aku
takut kau menjauh. Aku takut kau akan
pergi. Aku takut kau takkan ada lagi
untukku, Lay. Aku takut kau tak akan mau lagi berada di sisiku. Begitu banyak yang kutakutkan.
“tapi, sudah terlalu lama aku
memendamnya. Kau tau, kan? Memendam perasaan itu tak menyenangkan, Lay. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menyembunyikan
kenyataan ini.
“ternyata dugaanku benar. Kau menjauh dariku. Selama ini kupikir kau
membalas perasaanku. Tapi sayang seklai. Harapan tak pernah sejalan dengan
kenyataan. Dan kau tau itu, kan? ” kau mengubah posisi dudukmu. Kaki tak lagi
dilipat. Tapi kau mencondongkan badanmu
di depan dan menjadikan lututmu menjadi tumpuan dari tanganmu. Ku pause di bagian itu.
Bagian ini kuulang berkali-kali. Untuk
meyakinkan diriku bahwa pikiranku selama ini salah. Aku tak percaya, Iam. Rasaku
terbalas. Aku menyayangimu, dan kau juga menyayangiku.
Di balik rasa senang yang kurasakan,
sebuah pertanyaan berputar-putar di kepalaku. Kalau lagu ‘peri cintaku’ itu
dinyanyikan untukku, berarti kita berbeda keyakinan?
Pertanyaan itu terjawab ketika aku
menekan tombol play. Kau merogoh sakumu. Lalu mengeluarkan sebuah benda panjang
berwarna silver. Ternyata itu sebuah kalung. Kau angkat kalung itu, dan
nampaklah benda yang tergantung di tengahnya. Sebuah salib.
Kau tersenyum kecil dan terlihatlah
lubang kecil di pipimu. Oh, betapa aku
merindukan senyummmu, Iam.
Kau tunjukkan benda itu ke depan kamera.
“Aku seorang Christiani, Lay. Dan kau
seorang Muslim. Itu berarti. . . ” kau menggigit bibir bawahmu. “Kita takkan
pernah bersatu.”
Aku tercengang. Marah. Sedih. Bercampur
jadi satu. Marah pada diriku sendiri. Kenapa aku baru tau? Selama ini aku
mengenalmu, aku selalu berpikir kau juga seorang muslim, Iam.
“Mungkin kau hanya tau namaku Ilham. Dengan
panggilan Iam Memang, nama itu terdengar seperti nama seorang muslim. Tapi
ketahuilah, Layla. Nama lengkapku, Ilham Gabriel Christ Marcello.”
Aku kembali tercekat. Aku mencintai
orang yang berbeda iman.
“Maafkan aku baru memberitahumu sekarang.
Itu karena. . . ” kau berhenti sejenak, “Aku takut kau pergi. Maafkan aku, Lay. Aku memang egois.” Lalu menunduk.
Bulir bening kembali jatuh. Kuseka
dengan saputangan yang dulu pernah kau berikan padaku. Kutatap lagi gambarmu
yang bergerak di hadapanku.
Kulihat kau berdiri dan mengambil
biolamu, “Persembahan terakhir dariku, Lay. Untukmu, Peri Cintaku.” Kau tersenyum.“ Kali
ini kau boleh mengiringiku bernyanyi.” Kau tertawa kecil. Dan seperti biasa,
tawamu menular padaku.
Kututp mataku, dan kubiarkan diriku
terhanyut dalam aliran waktu. Kembali ke masa dulu. Saat aku dan kau masih
duduk berdampingan, berdiri bersisian dan bernyanyi beriringan.
Kubiarkan bulir ini jatuh sebagai bentuk
ketidakrelaanku untuk melepasmu pergi. Jangan marah, Iam. Untuk kali ini saja,
bolehkan aku menangis.
Seiring dengan mengalirnya bulir-bulir
itu, aku bersenandung pelan.
Aku
untuk kamu
Kamu
untuk aku
Namun
semua apa mungkin
Iman
kita yang berbeda
Tuhan
memang satu
Kita
yang tak sama
Haruskah
aku lantas pergi
Meski
cinta tak kan bisa pergi
“Jangan nangis, Lay. Ingat! Kau harus
kuat dan tegar!” katamu setelah meletakkan biola lalu duduk di kursi tadi—lagi.
Bagaimana aku bisa kuat kalau kau tak di sini, Iam? “Sayang sekali ya, aku tak
bisa lagi menjitak kepalamu seperti dulu. ”Kau sedikit tertawa. Tawa yang
sangat dipaksakan.
“Aku akan merindukanmu.” Kau tersenyum
sambil menarik-narik jari tanganmu sampai berbunyi ’tuk’. “Aku menyayangimu, Lay.” Kau tersenyum lagi. “Nanti
malam, aku akan berangkat ke Irlandia untuk melanjutkan kuliah dan karirku di
sana. Doa kan aku ya, Lay.” Katamu.
Lalu, kau perlihatkan tiket pesawatmu
dan berkata, “Aku akan berangkat dengan pesawat flying air. Dengan nomor keberangkatannya L743 jam 20.30 wib. Aku
menunjukkan ini supaya kau percaya bahwa ini nyata.” Katamu. “Aku takkan
melakukan gertak sambal padamu, cuman karena kau menjauhiku.” Katamu lagi. “Ketahuilah, Lay. Ada atau tidaknya kau di sampingku, kau akan
tetap ada di sini.” Kau menunjuk dadamu. “Di hatiku.”
Tik! Bulir pun jatuh lagi.
“Dah, Lay. Aku . . .” Kau menoleh ke
samping sambil menggigit bibir bawahmu. “Aku. . .” kau alihkan pandanganmu ke lantai
sambil menunduk. “Maafkan aku, Lay. Aku menyayangimu. Aku pergi. Dah.” Ucapmu. Kau
bangkit lalu melangkah menuju kamera. Sebelum videonya berakhir, kau
mengucapkan satu kata yang terus menggema sampai saat ini, “Assalamualaikum, Lay” di satu detik
terakhir. Lalu, layar laptopku hitam pertanda video berakhir. Di dalam hati aku
menjawab, Waalaikumsalam, Iam.
Setelah menonton video itu, kuseka bulir
bening yang mengalir dan kulangkahkan kakiku ke ruang tamu untuk mengambil
koran. Mengikuti instruksi dari Alfi
tadi.
Dari ruang tamu, aku kembali ke kamar. Tepat
di samping jendela menghadap ke barat. Sehingga aku dapat menatap rintik hujan
yang jatuh dari langit dan juga bisa melihat langit yang menjingga di
penghujung senja. Warna langit yang sangat kita sukai, Iam.
Aku bingung. Apa maksud Alfi menyuruhku
membaca koran ini? Apakah dia tidak tau kalau aku tidak suka koran? Oh iya, aku
baru ingat. Dia bukanlah Iam yang tau semua tentang diriku. Dan pada akhirnya,
aku akan tetap membaca koran. Karena, koran ini bersangkutan denganmu.
Kubuka lipatan koran itu. Sebuah tulisan
terpampang sebagai headline dari
koran tersebut.
“Roda Macet Nyawa Melayang”
Craig Johnson, Irlandia
Irlandia—sebuah pesawat dari Jakarta,
bertujuan ke Irlandia gagal mendarat dikarenakan kemacetan roda pesawat. Telah
dipastikan bahwa semua penumpang tewas karena badan pesawat menghantam salah
satu pagar landasan. Pesawat dengan nomor penerbangan L743 ini berangkat dari Jakarta
pada pukul 20.30 wib. Saat ini, Pihak flying
air masih belum bisa memberi kejelasan tentang kecelakan yang terjadi pada
tanggal 7 Juni ini.
Tik! Bulir bening pun jatuh lagi. Flying air? L743? 20.30? 7 Juni? Aku
merasakan selintas de javu. Pesawat itu. Nomor penerbangan itu. Jam nya. Tanggalnya.
Ini bukan de javu. Ini nyata. Itu pesawatmu, Iam. Pesawat yang akan
menghantarkanmu ke masa depan yang cerah. Menjadi seorang Maestro violist dan membuatku
bangga. Jatuh. Dan hancur.
Aku menggelang tak percaya. Kubekap
mulut yang sudah mulai mengeluarkan suara tersedu-sedu. Apakah kau benar-benar
telah pergi, Iam? Meninggalkanku? Selamanya?
Segenap hatiku luluh lantah. Kau boleh
ke Irlandia, Iam. Kau boleh ke Madagaskar. Kau boleh ke Afrika, Amazon, Kanada,
Arab dan tempat-tempat yang lainnya. Silakan. Tapi jangan. Kumohon jangan pergi
terlalu jauh, Iam. Jangan pergi ke tempat yang tak memungkinkanmu untuk kembali.
Di ujung senja, langit jingga yang dulu
kita tantang bersama melihat diriku luluh, Iam. Ia akan tertawa. Melihat diriku
kini berdiri sendiri. . . dan lemah.
0 komentar:
Posting Komentar